" HIDUPLAH DALAM PERDAMAIAN DENGAN SEMUA ORANG "

Sabtu, 31 Mei 2008

Cerita Hidup

Hidup di jaman begini manusia memang serba aneh. Anak yang pertama, Greta, sekolah di Sang Timur Jakarta berharap bisa mempunyai kesempatan yang lebih baik menempuh pendidikan di sana. Disamping keinginannya untuk menambah ketrampilan bermain piano. Jakarta memang serba lengkap tapi juga perlu perjuangan yang berat untuk menaklukannya. Karena tinggal di Bojong terpaksa ikut antar jemput yang di sebutnya milik tante Leony. Mampu membayar antar jemput dan berlaku baik pada supir juga bukan jaminan bahwa akan diperlakukan sama oleh supir antar jemput. Sudah merupakan kebiasaan anak-anak bila pulang sekolah tidak selalu sama jadwal tiap kelasnya, dan bila ini terjadi maka si anak akan di tinggal lalu di suruh ikut jemputan yang harus menunggu 2-4 jam lagi. Selama ini tidak ada yang protes karena bagi yang kaya tinggal minta di jemput orang tua. Dan bagi yang tidak bisa terpaksa menunggu selama itu padahal perut sudah keroncongan ditambah panasnya udara tengah hari. Tidak seharusnya anak-anak di perlakukan seperti itu karena keluar telat adalah dari pihak sekolah bukan pribadi.Dan bila ditanya :"Pak kog lama ?" maka si supir akan menjawab :"Kalau mau ikut yang nunggu aja kalo nggak suka pulang aja sendiri" dengan nada sengak. Begitu sombongnya si supir sebagai manusia. Begitu banyak orang tidak ada pekerjaan, supir yang punya pekerjaan malah tidak mensyukuri sama sekali berkat yang ada. Dari mana ia menerima gaji kalo bukan dari uang bulanan anak-anak kami. Melapor ke sang pemilik sami mawon saja.

Lain lagi ceritanya dengan Ian, anak kedua yang masih SD dan sekolah di St. Maria Sidoarjo.
Di sini uang antar jemput harganya amat eksklusif sekali bersaing dengan uang sekolah, keduanya hampir seimbang bahkan lebih mahal uang antar jemput. Para ibu-ibu yang dasarnya sudah kaya ingin bertambah kaya lalu mengantar anak dan sambil antar jemput. Dari rumpi mereka membentuk paguyupan antar jemput lalu membuat tarif sendiri yang diluar jangkauan dan bila tidak masuk paguyupan maka tidak boleh mengadakan antar jemput (kecuali anak sendiri). Badan yang mereka bentuk adalah untuk mensejahterakan mereka tapi mereka dalam menetapkan harga tidak mempertimbangkan bahwa ada orang tua kurang mampu yang juga anaknya sekolah di situ dan ikut antar jemput. Celakanya suster yang nota bene kepala sekolah pun kelihatannya setuju-setuju saja. Apakah semua ini karena penampilan sekolah yang terlihat mewah sehingga memunculkan pikiran bahwa yang sekolah di situ pasti mampu?

Itulah gambaran hidup jaman sekarang tidak ada lagi rasa kepedulian pada sesama yang ada hanya sifat sombong, congkak dan serakah.

Semoga saja hidup yang susah ini bisa kami terima dengan iklas sehingga menjadi berkat, dan yakin bahwa hidup itu seperti roda pedati yang selalu berputar. Kerajaan surga memang sulit bagi mereka yang masih menyembah pada harta duniawi.